Senin, 15 November 2010

Juragan Bakso Lulusan ITB

Tak peduli dengan gelar sarjananya ataupun posisi bagus di perusahaan multinasional, ia memilih jadi “tukang bakso”. Bagaimana ia mengembangkan Baso Ino, warung baksonya, hingga memiliki 12 cabang?
 
Jabatan tinggi dan gaji besar belum tentu memberikan kepuasan bagi seseorang. Setidaknya, bagi Tri Setyo Budiman. Pria kelahiran Sumenep 24 Juli 1961 ini, walaupun sudah menduduki posisi sebagai Manajer Penjualan Nasional William Russel Grace Company (perusahaan multinasional), masih merasa belum bahagia. Gaji sekitar Rp 7 juta/bulan (tahun 1995) belum membuatnya tenang. Ia gelisah. “Saya tidak mau bekerja terbatas oleh waktu,” demikian alasan Budiman waktu itu.

Keinginan untuk mandiri dan tidak mengandalkan gaji bulanan mendorong Budiman muda -- kala itu berusia 32 tahun -- memilih pensiun dini. “Banyak orang yang mengatakan saya keliru keluar dari pekerjaan yang sudah enak,” katanya mengenang. Namun, keputusannya sudah bulat. ”Saya tidak ingin terlalu lama bekerja di perusahaan. Bagi saya, sudah cukup untuk belajar.“ 

Tahun 1997 Budiman memutuskan pindah kuadran. Ia mencoba menerapkan berbagai ilmu yang ditimbanya kala menjadi profesional. Pelajaran pertama yang diperolehnya: menjadi wirausaha harus berani membuat keputusan dan menanggung segala risiko. “Pada umumnya,” ujarnya, “para profesional tidak dilatih mengambil keputusan berani.”

Budiman memilih bisnis warung bakso. Alasannya, makanan bakso sangat dekat dengan budaya makan orang Indonesia. Selain itu, bakso juga masih bercitra negatif: kurang higienis. Kelemahan inilah yang ia jadikan kekuatan sekaligus peluang. “Sehingga, penggemar mi dan bakso tidak perlu ragu datang ke warung kami,” kata Budiman sambil menambahkan, warung baksonya mengutamakan kebersihan dan pelayanan.

Dengan modal awal Rp 10 juta, warung pertama didirikan di Jalan Empang Tiga, Kalibata, Jakarta Selatan, dengan ukuran 2,5 x 2,5 m2. Memang tidak luas, tapi Budiman optimistis, warung baksonya yang dinamai Baso Ino -- akronim Indonesia number one -- bakal membesar. Maka, sejak awal ia sudah sadar branding. Harapannya, dengan nama Ino itu, suatu saat gerai baksonya menjadi rujukan pertama para penggemar kuliner. 

Budiman menyadari, kesuksesan tidak bisa begitu saja diraih. Semua harus berjalan setahap demi setahap. Ia menikmati proses yang ia anggap sebagai bahan pembelajaran itu. Namun, diakuinya, pengalaman kerja di perusahaan asing memberi sumbangsih besar pada kesuksesannya kini. “Bekerja di perusahaan asing harus membuat yang tadinya tidak bisa menjadi bisa,” ucapnya. Begitu pula dalam membesarkan Baso Ino, ia harus yakin bahwa hal-hal yang tidak bisa dilakukan menjadi bisa.

Kini, ada 12 gerai Baso Ino yang tersebar di Jabodetabek dan Batam. Sebagian besar gerai tersebut milik Budiman sendiri. Hanya lima gerai – antara lain di Cikajang, Tebet dan Mal CBC -- yang merupakan hasil kerja sama dengan investor. Untuk gerai kerja sama ini, Budiman menerapkan pola bagi hasil (keuntungan): 70% dinikmati pemilik modal, sisanya untuk dia.

Dijelaskannya, dari ke-12 gerai bakso itu, ada tiga jenis investasi yang dibedakan dari besarnya, yaitu Rp 400 juta, Rp 800 juta dan Rp 1,2 miliar. Investasi Rp 400 juta terdapat di gerai Baso Ino Cijantung dan Kalibata. Luas bangunannya sekitar 200 m. Investasi Rp 800 juta terdapat di gerai Baso Ino Rest Area Km.19 (tol menuju Bandung). Adapun investasi Rp 1,2 miliar di gerai Baso Ino Tebet, dan gerai lain di pusat kota.

Hingga saat ini, gerai di Rest Area Km.19 paling ramai dan memberi kontribusi terbesar bagi total omset Baso Ino. Setiap bulan rata-rata 15 ribu pengunjung menikmati bakso racikan Budiman. Adapun gerai lain hanya didatangi 6-9 ribu pengunjung/bulan; rata-rata tiap pengunjung membelanjakan Rp 20-25 ribu.

Ketua Umum Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso Indonesia (Papmiso) ini mengakui, selain gerai yang berlokasi di Rest Area Km. 19, gerai-gerai baksonya cenderung tidak ramai. Ini tak lain karena ada stigma Baso Ino sebagai gerai bakso modern yang mahal. Pasalnya, bangunan Baso Ino menampilkan arsitektur modern, menarik dan terlihat bersih. Padahal, harga yang ditawarkan Baso Ino relatif terjangkau. Untuk satu porsi bakso dan mi, harga yang dipatok Rp 11 ribu sampai Rp 15 ribu. “Untuk mengubah image tersebut, sulit,” ucapnya. Karena itulah, ia memilih bergerilya dengan memanfaatkan jaringan pertemanannya.

gSaya selalu mengatakan pada karyawan, pelanggan tidak datang ke sini bukan karena kesalahan pasar. Tapi, ya karena kesalahan internal,” katanya. Kesalahan internal tersebut, misalnya, pelayanan yang kurang bagus, lokasi yang tidak bersih, dan pelayan yang kurang ramah.

Tiga tahun terakhir Baso Ino aktif memasang iklan di berbagai media massa. Namun , menurut Budiman, beriklan tidak lebih efektif dibandingkan promosi dari mulut ke mulut. Karena itu, lewat jaringan pertemanan, ia terus memperkenalkan Baso Ino. Apalagi, ia berprinsip: seorang pengusaha harus memiliki jaringan seluas mungkin. Ia sendiri penah merasakan manfaat luasnya jejaring yang ia miliki. Gerai Baso Ino di Batam merupakan bukti nyata. Gerai ini mulus didirikan karena hubungan dekatnya dengan Walikota Batam saat itu. “Kalau mau maju, kami harus mempunyai jaringan sebanyak-banyaknya.”

Selain itu, jabatannya sebagai Ketua Umum Papmiso memudahkannya menjalin hubungan dengan berbagai kalangan, mulai dari pedagang mi dan bakso kaki lima sampai pejabat daerah. Jaringan pertemanan dengan sesama alumni pelatihan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Ary Ginandjar juga banyak memberikan kontribusi.

Akan tetapi, tak selamanya usaha yang dilakukan Budiman berujung sukses. Ada tiga gerai yang akhirnya terpaksa ditutup. Namun, ia tidak lantas mengambinghitamkan tingkat persaingan sebagai penyebab kegagalan usahanya. Menurutnya, penyebab utama kegagalan itu adalah produk dan pelayanan yang tidak bagus. “Kegagalan kebanyakan datangnya dari lingkungan internal,” ucapnya.

Adapun penyebab tutupnya gerai Baso Ino di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, adalah salah memilih mitra bisnis. Budiman menerangkan, tutupnya gerai lebih karena faktor legal yang tidak tercakup dalam perjanjian kerja sama. “Kami hanya menggunakan rasa percaya tanpa menggunakan aspek legal, akhirnya di tengah jalan berantakan,” katanya tanpa menjelaskan secara rinci kejadiannya.

Penyebab kegagalan lainnya adalah salah memilih lokasi. Ia pernah membuka gerai di rumah sakit karena, “Saya pikir lalu lintas pengunjung yang banyak akan meramaikan pengunjung Baso Ino.” Ternyata, pengunjung rumah sakit tidak berani makan di gerai itu karena percaya bahwa rumah sakit merupakan sumber penyakit.

Faktor eksternal menjadi salah satu penyebab tutupnya gerai Baso Ino di kawasan industri di Cikeas, Bogor. Kenaikan harga bahan bakar minyak tahun 2004 membuat banyak pabrik di kawasan tersebut tutup. Baso Ino, yang sebelumnya ramai pengunjung, pun akhirnya ikut tutup. Ini menyebabkan Budiman rugi hingga Rp 450 juta, karena gerai tersebut baru beroperasi kurang dari setahun.

Berbagai kegagalan itu memberi banyak pelajaran bagi Budiman. Setidaknya, ia menjadi lebih hati-hati dalam mengembangkan usaha. Selain itu, ia pun jadi lebih kreatif dan inovatif. Salah satu terobosannya: menggarap sektor korporasi. Saat ini Departemen Perdagangan serta Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tercatat sebagai klien Baso Ino. Pesanannya sebanyak 300-400 porsi. Paling tidak, dalam satu semester masing-masing departemen tersebut memesan tiga kali.
Tak berhenti sampai di situ, Budiman membuat berbagai terobosan lain agar gerainya tetap bertahan. Meski merek yang digunakannya adalah Baso Ino, makanan yang ditawarkan tak melulu bakso dan mi, tapi juga masakan tradisional dan oriental. Variasi menu tersebut dilakukan sejak lima tahun lalu. Ini dilakukannya untuk mempercepat pencapaian break even point (BEP). “Dengan investasi menembus angka Rp 1 miliar, kalau hanya menjual bakso, tidak bisa mengejar (BEP),” ungkap lulusan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.

Kini Budiman tengah mengembangkan usaha bakso yang berbeda dari kelas kaki lima, yaitu Baso Gentong. Ia yakin, Baso Gentong tidak akan menganibal Baso Ino. “Kira-kira ada 10 Baso Gentong yang ingin kami dirikan sampai akhir tahun ini,” ujarnya seraya menyebut beberapa lokasi yang dibidiknya, antara lain Kelapa Gading, Bintaro dan Depok. Langkah ini diambil mengingat potensi kapitalisme yang besar bisa dihasilkan oleh bakso gerobak pinggir jalan. Budiman menuturkan, satu gerobak bakso dan mi yang ramai bisa memperoleh pendapatan Rp 1-1,5 juta/hari.

Menurut Kafi Kurnia, konsultan bisnis dari Inter Brand, bakso merupakan produk yang simpel dan disukai masyarakat. Karena itu, peluang keberhasilan usaha ini tergolong cukup tinggi. “Berbisnis makanan yang sudah familier di lidah orang Indonesia, tingkat rejection-nya rendah,” kata penulis buku Anti Marketing ini.

Pencinta kuliner ini menuturkan, dengan memilih produk yang familier, bisa dibilang satu persoalan mengenai produk sudah selesai. Hal penting selanjutnya yang harus diperhatikan untuk mendulang kesuksesan bisnis adalah pemilihan lokasi yang strategis, kebersihan dan kenyamanan. “Siapa pun itu, dia harus jeli mencari lokasi. Lihat restoran di mal, walaupun rasa makanannya biasa saja, pengunjungnya luber.”

Dalam kasus Baso Ino, menurut Kafi, merek hanya menjadi faktor minoritas yang mendukung kesuksesannya. ”Di situ brand bukanlah sesuatu yang dahsyat karena produknya simpel dan digandrungi,” ujarnya. Kekuatan Baso Ino justru terletak pada sosok Budiman yang berpengalaman dalam dunia profesional. Pengalaman itulah yang sangat membantunya menciptakan sistem operasional gerainya. “Banyak pedagang bakso kaki lima yang tidak mempunyai sistem manajemen operasional. Itulah bedanya Bakso Ino dari lainnya.”

Ke depan, Budiman berencana membuka beberapa gerai lagi. Salah satunya, di Rest Area Km. 10 Tol Cikampek yang rencananya akan dibuka tahun ini. “Sukses-tidaknya sebagai pengusaha harus terlebih dahulu melampaui 10 tahun,” ujarnya.

Yang unik, Budiman tak segan mendorong karyawannya membuka bisnis bakso. Empat mantan karyawannya telah berbisnis bakso sendiri. “Saya mendorong jika ada yang ingin keluar. Jangan takut akan kolaps,” katanya. Ia tak khawatir tersaingi jika karyawannya membuka usaha bakso. Budiman percaya, masing-masing usaha mempunyai karakteristik. Selain itu, gaya manajemen dan operasional yang khas dari setiap gerai sulit begitu saja dijiplak oleh yang lain.